Sabtu, 08 Mei 2010

Ketika Topeng Monyet Tak Lagi Keliling

Aksi seekor kera saat dibawa mengamen di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (16/4/2010). Kemacetan yang hampir selalu terjadi di Jalan dr Satrio, tepatnya di depan mal Ambasador dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mengamen dengan monyetnya.


Kompas.com. Suara gendang sudah tidak bertalu, suara kenong (alat musik dari tembaga) sudah tidak berbunyi kembali. Semua telah tergantikan dengan merdu suara biduanita yang keluar dari sound system butut.

Entah siapa yang menyanyi, lagu dangdut tersebut telah bercampur dengan nada-nada disko remix. Terajana judulnya, dengan leluasa menyambar telinga setiap pengendara yang melewati Jalan dr Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan.

Topeng monyet tengah berevolusi. Dari berkeliling kampung ke kampung menyusuri gang-gang sempit, kini ngetem saja di tempat-tempat strategis. Dari iringan kendang dan kenong atau tete, kini diganti musik dangdut dari kaset butut.

Coba lihat di jalur hijau depan Mal Ambasador. Jejeran topeng monyet saling beradu gengsi memperebutkan iba pengendara yang lewat. Tak peduli pada cuaca terik atau mendung, bahkan gerimis.

Jumuat (16/4/2010) kemarin misalnya. Jam sudah menunjukkan pukul 15.00. Matahari masih terik. Panas menyengat tak membuat Nurhayati (8) atau sering disapa Nur, berhenti mengayunkan toples plastiknya ke arah pengendara yang lewat. Dengan ditemani kakaknya, Supriyadi (16), Nur mencari sesuap nasi demi kelangsungan hidup.

Mengamen dengan topeng monyet menjadi pilihan kakak beradik ini setelah bangku sekolah ia tinggalkan sejak setahun lalu. "Kalau tidak bergerak, mana bisa makan Bang" kata Nur.

Maka, buku sekolah dan ballpoin berganti dengan toples plastik warna coklat. Bersama monyetnya yang diberi nama Jepri, Nur dan kakaknya berbagi tugas saat mengamen. Nur bertugas menghampiri setiap pintu mobil yang berjalan merayap di tengah kemacetan. Sedangkan sang kakak menjaga sound sistem agar tetap berbunyi merdu sambil memegang tali pengikat sang monyet.

Tidak terlihat wajah malu apalagi letih dalam diri Nur dan kakaknya. Dengan sigap ia memunguti uang kertas yang dilempar dari kaca yang hanya terbuka beberapa senti. Kadang ia harus mencari kepingan logam yang jatuh di hijaunya rumput taman.

Hampir 10 jam sehari ia habiskan untuk mengamen dengan kakaknya. Mereka biasa mangkal mulai pukul 08.00. Hasilnya, lumayan untuk ukuran keduanya, Rp 60.000 sampai Rp 90.000. Bahkan kalaupun beruntung mereka bisa mendapatkan Rp 100.000. "Tapi itu jarang banget Bang," kata Nur.

Hasil jerih payah mengamen itu ternyata tidak utuh mereka terima. Sebab, monyet yang jadi teman ngamen itu ternyata mereka sewa dengan sistem komisi dari pemiliknya. Sehari mereka harus menyisihkan Rp 30.000-Rp 35.000 untuk sewa monyet. Tergantung berapa rupiah yang mereka peroleh hari ini.


Topeng Monyet di Jl. Terogong

Penghasilan itu juga masih harus dikurangi ongkos naik bajaj dari rumah kontrakannya di Pasar Prumpung, Jakarta Timur, ke Kuningan PP, antara Rp 10.000-Rp 15.00 sekali jalan. "Tergantung bang kalau macet bayar Rp 15 ribu kalau lancar cuman Rp 10 ribu" kata sang kakak.

Untuk menghemat, mereka biasa naik bajaj berombongan bersama sesama pengamen lain, dengan monyetnya juga tentunya. Sedangkan makan siang, mereka harus berbagi dengan sang monyet yang ternyata gemar makan tempe goreng.

Lalu berapa sisa penghasilannya? Tidak banyak ternyata. "Lumayan untuk keperluan keluarga" kata Nur tanpa bisa menjelaskan keperluan yang seperti apa.

Nur dan Supriyadi tidak sendiri mengamen dengan monyetnya di jalur hijau dr Satrio. Ada lima sampai tujuh pengamen serupa. Dengan berbagai latar belakang nasib, mereka tampil kompak dengan berbagi lahan mengamen hingga waktu sudah menunjukkan pukul 18.00.

"Saya pengin berdagang Bang" kata Nur menutup perbincangan petang kemarin sembari mengemas aneka permainan jepri. Sebuah harapan yang mungkin masih jauh dari gapaiannya...


ati-ati, entar kena lindes ban mobil..! !


Daripada keliling komplek belum tentu dapet untung lebih baik nongkrong di jalan aja minta sama mobil yang lewat.


Monyetnya sebenarnya malu juga minta-minta duit, tapi untung dia make topeng





Tanggapan atas berita diatas:
Topeng Monyet kembali muncul setelah hampir lama banget, kaya sekitar 10 tahunan jarang gue liat.
Topeng monyet adalah moment masa kecil gue. Jaman-jamannya ulang tahun rame-rame sama temen TK terus panggil topeng monyet ke rumah. Atraksinya seru banget : naik motor, bawa payung, lompat-lompatan dan juga ada box berisi ular. Kita juga bisa foto bareng segala. Moment yang menyenangkan.

Topeng Monyet merupakan salah satu atraksi tradisional yang paling gue suka selain kuda lumping makan beling dan orang berjalan di atas bara. Tapi yang belakangan gue lihat ini agak berbeda. Mereka bisa dijumpai di beberapa perempatan/lampu merah di jalan-jalan utama. Seperti di Adhyaksa mau keluar ke TB Simatupang, atau lampu merah Point Square, Jl. Cinere Raya dekat Cinere Mall, depan mall ambassador dan terakhir ini di Jl. Terogong yang mau keluar ke Fatmawati.

Biasanya sekumpulan pengamen, 2 atau 3 orang dengan masing-masing perlengkapan perangnya bersama monyetnya masing-masing, nongkrong di jalan dan membiarkan monyetnya dateng ke mobil-mobil yang berhenti untuk minta uang. Persis seperti anak-anak kecil yang sering minta-minta di lampu merah.

ada apa yah sama negara kita saking susahnya orang mencari kerja, sampe tukang monyet yang kayanya dulu waktu kecil menjadi semacam idola buat gue kok ikut-ikutan kehilangan lapangan kerja dan musti ngemis di jalan? Apakah orang-orang sudah tidak tertarik lagi pada hiburan seperti itu? Atau para tukang topeng monyet itu sudah malas dan lebih besar penghasilannya apabila ngemis di jalan-jalan besar jadi mengambil jalan pintas seperti itu.

Enggak ada yang tahu

Yang pasti budaya ngemis dan malas berusaha sudah lintas spesies.
Asal jangan ular juga ikut-ikutan menjalar terus minta duit juga ke jendela kita, serem banget ngasihnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post